Desa Klampok
Diapit oleh kota Purbalingga dan Banjarnegara,Desa Klampok tidak kehilangan wibawanya. Karena penduduk desa ini mampu mengubah tanah liat,jadi karya seni.
Di pinggiran jalan raya berjejeran show room yang sekaligus merangkap sebagai pabrik .Beda dengan pabrik atau industri lainnya,disini sama sekali tidak terdengar kebisingan ataupun debu yang berterbangan,pertanda derap mesin yang lagi dioperasikan., Karena memang sama sekaltidak ada mesin. Semuanya dilakukan dengan peralatan ala kadarnya.
Namun ini pula agaknya yang menjadi daya tarik barang seni yang diciptakan menjadi berharga,karena di buat oleh tangan tangan manusia.Karena kalau hasil buatan pabrik,akan kalah bersaing dengan produk produk made in China. Karena mutu yang lebih baik dan harga yang jauh lebih murah,
Beruntunglah ,masih ada orang orang yang mau membaktikan dirinya ,untuk tetap pada kreasi hand made,menciptakan beragam seni dari materi asalnya tanah liat. Walaupun untuk menjalani hidup sebagai pengrajin tanah liat,seisi rumah harus bekerja untuk menopang kehidupan keluarga.
Seperti yang diceritakan oleh bu Sri,wanita paruh baya,yang sudah menekuni pekerjaan ini sejak dari 7 tahun lalu.
“ Saya sudah bekerja disini sejak 7 tapi tahun lalu. Suami bekerja dan anak juga bekerja dibidang ini.tapi dipabrik lain “ kata bu Sri,yang enggan menyebutkan berapa penghasilannya sebulan.
“ Ya,nggak seberapa Om,tapi saya sudah terlanjur jatuh cinta pada pekerjaaan saya dan tidak mungkin mencari pekerjaan lain” katanya menutup pembicaraan singkat kami.
Butuh kesabaran dan ketekunan
Berapa lama dibutuhkan waktu untuk membuat sebuah jambangan bunga? Ternyata tidak mudah. Butuh waktu tidak hanya berhari hari,tapi bahkan beberapa minggu. Dari mulai memilih jenis tanah liat yang pas ,proses pembentukannya, hingga mengguatkannya dalam pembakaran.
Tanah liat yang sudah dibentuk,dibakar di oven yang memiliki temperature 1000 derajat.
Sudah siap? Ternyata belum. Karena masih membutuhkan finishing touch,yaitu mewarnai atau melukis dan menempeli beberapa bahan untuk asesoris. Antara lain yang dimanfaatkan adalah kulit telur dan kulit rotan,yang dipotong dalam ukuran kecil kecil..Potongan kulit rotan ini ditempelkan satu persatu keguci ,sebagai finishing touchnya.
Sesudah ini,masih sekali lagi perlu di vernis ,agar tempelan kult rotan ini ,menjadi bagian yang terpadu pada guci atau jambangan. Dan menampilkan corak yang spesifik.
Minimnya Perhatian Pemerintah
Hasil beragam karya seni yang sudah siap,dipajang di show room yang cukup memadai. Sayangnya semua upaya dan kerja keras ini,tidak membuahkan hasil yang menjanjikan. Karena minim pembeli.
Pemilik usaha pengrajin tanah liat ini,harus bersabar menanti datangnya calon pembeli,yang sebagian besar adalah turis turis domestik. Padahal kalau show room ini,di masukkan dalam rangkaian kunjungan tamu manca negara ,diyakini akan sangat laris. Mengingat harganya yang kalau di dollar kan menjadi relatif sangat murah.
Show room ini pun terletak dijalan raya utama,sehingga sangat mudah terjangkau oleh bus bus wisata. Namun menurut pemiliknya.hingga saat ini belum ada terlihat tanda tanda perhatian dari pemerintah,dalam hal ini dinas Pariwisata,maupun dinas perdagangan,yang membantu mereka untuk memasarkan hasil karya rakyat ini.
Dikuatirkan,bila hal ini tetap berlanjut,tidak mustahil dalam waktu mendatang,kreasi seni tanah liat ini akan punah. Karena kerja keras dan pengorbanan mereka bertahun tahun,sama sekali tidak menjanjikan taraf hidup yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar